JAGADSUWUNG.COM|SIDOARJO — Di tengah gemuruh pembangunan dan geliat industri, sekelompok budayawan memilih bersuara dari ruang yang jarang disorot: ruang kebudayaan. Persatuan Budayawan Jagad Suwung Nusantara (PBJSN) menggelar Dialog Budaya di Sidoarjo, Sabtu, 14 Juni 2025. Forum ini bukan sekadar temu wicara, tapi ajakan menggugah kesadaran kolektif: budaya harus jadi arus utama, bukan sekadar pinggiran.
Soekarno, budayawan senior yang didapuk sebagai narasumber utama, membuka pernyataannya dengan nada tegas. “Saya minta pada Bupati, agar Sidoarjo menjadi kabupaten berbudaya. Bukan hanya sekadar seremonial, tapi dengan kebijakan yang nyata dan berpihak pada pelaku budaya,” katanya lantang, disambut tepuk tangan peserta.

Henry, seniman teater yang turut hadir sebagai pembicara, menyuarakan kerinduannya pada sosok seniman yang tak hanya piawai di atas panggung, tapi juga berpijak pada nilai.
“Budayawan adalah seniman, dan seniman adalah pencipta. Jadi budayawan harus menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat,” ujarnya.
Diskusi berlangsung dinamis. Isu yang dibahas mencakup regenerasi seniman tradisi, peran sanggar dan padepokan sebagai ruang pewarisan nilai, serta strategi mempertahankan tradisi lisan yang makin terpinggirkan. Tak sedikit peserta yang menyoroti lemahnya dukungan kebijakan terhadap pelestarian budaya akar rumput.
Ketua Umum PBJSN dalam sambutannya menegaskan, “Dialog ini bukan sekadar diskusi. Ini ikhtiar menanamkan kesadaran bahwa budaya bukan milik masa lalu. Ia milik masa depan, yang kita siapkan hari ini.”
PBJSN selama ini dikenal aktif mendorong revitalisasi budaya melalui berbagai kegiatan: dari pelatihan tradisi, pementasan seni lokal, hingga penghargaan tahunan Insan Peduli Budaya. Gerakannya senyap namun berdampak, menjangkau desa-desa yang sering luput dari radar perhatian pemerintah.
Melalui dialog ini, PBJSN mengingatkan bahwa budaya bukan pelengkap pembangunan—melainkan fondasinya. Seruan Soekarno dan para tokoh lainnya menggema seperti pesan sunyi dari masa depan: Sidoarjo bisa tumbuh besar tanpa kehilangan jati dirinya, bila ia berdiri di atas akar budaya yang kokoh.(S7)