JAGADSUWUNG.COM/SIDOARJO — Malam itu, Jumat (22/5), bukan sekadar malam pertunjukan. Di Gedung Dewan Kesenian Sidoarjo (Dekesda), udara tak hanya berisi aroma lampu panggung yang panas dan debu tua panggung yang terangkat. Malam itu, panggung bicara. Tapi bukan dengan bahasa yang dimuliakan naskah, melainkan dengan tutur pasaran yang kita dengar setiap hari di warung kopi, gang sempit, dan dapur rumah kontrakan.
Ludruk eSKa, dalam penampilan perdananya, memilih untuk jujur. Disutradarai Didik Jogoyudha, lelaki 43 tahun dari Kampung Plipir, Sidoarjo, pentas ini mengusung bahasa yang tidak dihaluskan demi sopan santun, juga tidak dipoles demi panggung yang megah. Justru itulah kekuatannya: kejujuran.
Panggung jadi semacam ruang tamu bersama — tempat segala percakapan yang biasanya dilarang muncul di panggung, justru diundang masuk. Ada umpatan, ada pisuhan, ada tertawa getir dan celoteh nakal. Tapi tak satu pun terasa memuakkan. Sebaliknya, semua terasa sangat manusiawi.
“Iki beneran kayak ndengerin tetangga ribut masalah utang, tapi malah lucu,” ujar Tanti (34), salah satu penonton yang duduk di baris tengah, masih tersenyum sambil mengelap air mata dari tawa.
Celometan penonton pun tidak diredam. Mereka ikut menyahut, tertawa, menimpali dialog di atas panggung seolah menyapa kawan lama. Suasana menjadi cair, hidup, dan liar — tapi tidak liar yang tanpa kendali. Liar yang terarah, seperti anak-anak bermain di halaman tanpa pagar, tapi tahu di mana batasnya.
Ludruk eSKa bukan hanya pentas, tapi juga ruang pengakuan: bahwa dalam kehidupan nyata, tak semua kalimat harus terdengar indah. Kadang justru keindahan itu hadir dari kejujuran yang kasar, dari kekasaran yang lembut, dari kenyataan yang tak dipoles.
Didik Jogoyudha, sang sutradara, bukan nama baru. Ia adalah pegiat lama di panggung Sidoarjo lewat Teater Lektur, pendiri Ludruk GPS (Generasi Pecinta Seni) Surabaya, dan juga pernah menyentuh layar lebar lewat film Sang Kiai, Yo Wis Ben, hingga Sangrai. Ia paham betul bahwa ludruk bukan soal kostum dan banyolan semata, tapi tentang keberanian berkata jujur dari panggung ke hati penonton.
“Bahasa itu bukan sekadar alat komunikasi. Di panggung ini, bahasa adalah cermin: kadang kotor, kadang buram, tapi kalau kita jujur menatapnya, kita bisa melihat diri kita sendiri,” ujar Didik dalam bincang singkat usai pertunjukan.
Penampilan perdana Ludruk eSKa ditutup dengan tepuk tangan panjang — bukan karena kehebatannya dalam mengatur lampu, suara, atau alur, tapi karena keberaniannya menyuguhkan sesuatu yang nyata, tanpa polesan, tanpa basa-basi. Sebuah pertunjukan yang tidak menyembunyikan apapun. Sebuah panggung yang tidak takut terlihat kasar, karena di balik kekasaran itu, ada kehangatan dan kejujuran yang tidak bisa dipalsukan.
Dan malam itu, ludruk bukan sekadar ditonton. Ia dihidupi. Ia diserap. Ia dikenang.